Dahulu kita kenal sebagai salah satu produsen telepon seluler ternama, Ericsson sebenarnya memiliki jangkauan layanan sangat luas. Mereka menyediakan software, infrastruktur serta informasi untuk operator telekomunikasi dan industri lainnya. Dan satu hal yang paling ditunggu-tunggu adalah rangkuman data survei dari mereka.
Belum lama Ericsson melepas hasil penelitian ConsumerLab TV & Media Report, fokus pada akses pelanggan video dan televisi baik menggunakan metode konvensional hingga streaming via internet. Survei dilakukan melalui wawancara kepada 23.000 orang di 23 negara – termasuk Indonesia. Dan khalayak di negeri kita tercinta ini menunjukkan kebiasaan unik berbeda dari masyarakat di negara lain.
Sebelum kita ke sana, ada sebuah info yang perlu Anda ketahui: Akibat dari kemudahan berinternet, kini pengguna konten streaming mendekati jumlah penikmat TV biasa, dengan selisih hanya dua persen selama satu minggu. Peningkatan akses streaming terhitung melonjak sebesar 25 persen dalam dua tahun. Dan tren ‘binge-watching‘ atau lebih familiar disebut marathon, merupakan faktor penyumbang terbesarnya.
Kita semua pasti memiliki serial TV favorit; entah Game of Thrones, Running Man, atau Breaking Bad. Pernahkah Anda menonton beberapa episode sekaligus tanpa berhenti? Itulah binge-watching. TV konvensional hampir tak bisa menyajikannya, tapi binge menjadi fenomena baru berkat layanan dari Netflix dan Hulu. Tapi karena belum tersedia di Indonesia, penduduk kita mempunyai perilaku berbeda.
Info menarik: Connected Paper, Kertas Elektronik Canggih Garapan Ericsson
Berkat konten on-demand, kenaikan penggunaan TV streaming di Indonesia menjadi lebih besar dari metode biasa. Perbandingannya ialah 95 persen versus 90 persen. Bukan rahasia lagi, smartphone dan tablet telah menjadi device favorit di nusantara, dan orang Indonesia rata-rata menghabiskan enam hingga tujuh setengah jam untuk menonton video melalui perangkat itu dalam waktu seminggu.
Ternyata, ada tiga jenis konten yang paling digemari masyarakat kita. Tak mengejutkan, YouTube berada di peringkat pertama dengan 45 persen. Kemudian pelanggan juga banyak mencari acara televisi berjadwal (43 persen) serta siaran langsung (37 persen). Jika tak bisa menontonnya dari komputer atau notebook, mereka tak segan-segan memanfaatkan perangkat mobile-nya.
Orang Indonesia mengaku ada banyak faktor penghalang untuk menikmati video dari smartphone dan tablet, dan problema terbesarnya adalah harga akses data yang sangat tinggi, disusul mahalnya biaya langganan. Tak lupa, koneksi internet lambat juga menjadi masalah serius.
Berkaitan dengan televisi dan video berbayar, masyarakat menuntut banyak hal: kualitas HD hingga 4K UHD, live TV eksklusif, serta judul-judul film box office terpanas, tanpa selingan. Konsumen Indonesia berharap agar tiap acara TV dan video bisa dipersonalisasi. Pengguna lebih suka diberikan saran soal konten yang relevan sesuai kepribadiannya, dapat mengkustomisasi – menambah dan mengurangi channel, hingga memblokir atau menampilkan iklan spesifik.
Lebih dari separuh pengguna tertarik untuk melakukan video call via layar televisi karena melihat manfaat dan potensi produktif. Namun hanya 23 persen di antara mereka yang berkenan membayar. Tidak mengherankan.
Info menarik: Liputan Acara Kunjungan Pendiri Facebook di Indonesia
Di Indonesia, YouTube merupakan layanan video paling populer, mendominasi 78 persen kegiatan streaming. Menariknya, laporan Ericsson ini menyatakan bahwa YouTube juga dimanfaatkan sebagai sumber unduhan oleh konsumen kita. Padahal, men-download video YouTube bukanlah aktivitas legal, melanggar hak cipta dan persetujuan antara Google (sang pemilk) dengan konsumen.
Berkaitan perihal model pembayaran, konsumen dalam negeri memilih berlangganan per bulan, dan tidak keberatan jika harus menyaksikan iklan acara TV atau video lain. Perilaku unik lainnya ialah 57 persen konsumen akan mencari tahu dan membahas apa yang mereka tonton dengan sesamanya melalui perangkat kedua secara paralel.
Terakhir, survei Ericsson berhasil menjawab pertanyaan tentang fitur terpenting bagi konsumen dan pelanggan. Ternyata mereka mengingkan kualitas HD (71 persen), subtitle Bahasa Indonesia (69 persen), dan tanggal tayang film box office di TV on-demand berbarengan dengan bioskop (65 persen).
Menurut Head of Consumer Lab, Afrizal Abdul Rahim, hasil penelitian ini sudah jelas, “Perusahaan media perlu memikirkan kembali bagaimana mereka menciptakan dan mengeluarkan konten, sedangkan fokus bagi operator adalah menyediakan kualitas tertinggi untuk pemirsa, tak peduli perangkat apa yang mereka gunakan.”